Promo

Elegi Daulat Timah, Awal dan Akhir untuk Babel?

Kamis, 09 Oktober 2025 16:39 WIB | 101 kali
Elegi Daulat Timah, Awal dan Akhir untuk Babel?

Presiden Prabowo Subianto didampingi Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto saat penyerahan barang rampasan negara di smelter milik PT Tinindo Internusa di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (6/10/2025).


Langkah penertiban enam smelter ilegal di Bangka Belitung (Babel) oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai sebagai koreksi penting menuju kedaulatan ekonomi nasional.

marikitabaca – Namun, pemerintah diimbau tidak berhenti pada penegakan hukum, melainkan segera melakukan perbaikan sistem tata kelola agar aset yang disita tidak berujung pada “nasionalisme mahal.”

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyebut kebijakan ini sebagai momentum untuk mengakhiri era kebocoran nilai dari sumber daya alam. Menurutnya, persoalan tambang ilegal menyangkut kedaulatan ekonomi yang lebih luas, terutama karena lebih dari 90% cadangan timah dan Logam Tanah Jarang (LTJ) Indonesia berada di Babel.

“Kerugian ini bukan hanya soal uang, tapi juga mencerminkan institusi ekonomi yang kehilangan daya kontrol. Dengan penertiban ini, pemerintah sedang mengembalikan trust premium terhadap negara,” kata Fakhrul di Jakarta, Senin (6/10/2025) kemarin.

Fakhrul mengingatkan bahwa kedaulatan harus diimbangi dengan efisiensi dan tata kelola produktif.

Ia khawatir jika aset yang disita hanya dipindahkan dari swasta ke negara (BUMN) tanpa perbaikan sistem yang fundamental. Kedaulatan yang tidak diimbangi tata kelola produktif berisiko menjadi nasionalisme mahal.

“Ketika smelter ilegal disita dan dikelola oleh BUMN, tantangannya bukan hanya soal legalitas, tapi soal kemampuan menciptakan value chain yang produktif. Tanah jarang adalah industri berbasis teknologi tinggi,” tambahnya.

Untuk itu, Fakhrul menyarankan pemerintah melengkapi langkah ini dengan kebijakan industri berbasis produktivitas, bukan sekadar proteksi. Ia menekankan perlunya konsolidasi PT Timah dengan lembaga riset dan universitas.

Hal ini penting agar hilirisasi LTJ tidak hanya menghasilkan logam mentah, tetapi juga pengetahuan (knowledge capital).

Lebih lanjut, Fakhrul menggarisbawahi tiga pilar utama untuk perbaikan. Pertama, Pentingnya kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership/PPP) yang disiplin, akuntabel, dan diaudit secara terbuka.

“Kalau tidak disertai riset, inovasi, dan tata kelola yang transparan, kita berisiko hanya mengganti pelaku tanpa memperbaiki sistem,” tegasnya.

Kedua, pemerintah wajib merancang blueprint tata kelola mineral strategis yang memuat kejelasan hak dan kewajiban pusat-daerah, mekanisme audit ekspor dan royalti, serta jalur transisi bagi industri kecil yang izinnya belum lengkap.
 
Ketiga, PT Timah harus menyediakan kompensasi dan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang terdampak penutupan tambang ilegal. Ini bertujuan mencegah gejolak sosial dan membuktikan keberhasilan kebijakan.

Fakhrul menambahkan bahwa konsistensi kebijakan dan kepastian regulasi adalah kunci keberhasilan.

“Pasar menolak ketidakpastian, bukan aturan. Itu yang akan mengubah Bangka Belitung dari sekadar tambang menjadi penggerak ekonomi nasional,” pungkasnya.

Prabowo: Kita Tak Pandang Bulu Tegakkan Hukum!

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto meninjau langsung penyitaan total enam smelter ilegal di Bangka Belitung yang terlibat dalam pelanggaran hukum terkait kegiatan penambangan tanpa izin di kawasan PT Timah, Senin (6/10).

Dalam kesempatan tersebut, Prabowo menegaskan keseriusan pemerintahannya untuk menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu.

“Pagi hari ini saya ke Bangka tadi bersama-sama, kita menyaksikan penyerahan rampasan negara dari perusahaan-perusahaan swasta yang melaksanakan pelanggaran hukum. Ini adalah tambang tanpa izin di kawasan PT Timah. Jadi, yang terlibat sudah dihukum, dan pihak berwajib—kejaksaan—sudah menyita enam smelter,” ujar Prabowo.

Presiden menjelaskan bahwa di lokasi smelter tersebut juga ditemukan tumpukan tanah jarang dan ingot-ingot timah (bongkahan logam) dengan nilai yang sangat besar.

“Dan di tempat-tempat smelter itu, kita lihat sudah ada tumpukan tanah jarang dan juga ingot-ingot timah. Nilainya dari enam smelter dan barang-barang yang disita mendekati enam hingga tujuh triliun rupiah. Tapi tanah jarang yang belum diurai mungkin nilainya lebih besar, sangat besar. Tanah jarang, yaitu monasit,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prabowo memaparkan bahwa kerugian negara akibat aktivitas penambangan ilegal tersebut mencapai ratusan triliun rupiah.

“Monasit itu satu ton bisa ratusan ribu dolar—200 ribu dolar per ton. Padahal, total ditemukan timbangannya puluhan ribu ton, mendekati 40 ribu ton,” ujarnya.

Dari angka yang dipaparkan Prabowo tersebut, bila dihitung, dari monasit saja kerugian negara bisa mencapai Rp 128 triliun. Itu masih sebagian dari keseluruhan kerugian negara.

Prabowo memaparkan kisaran kerugian negara secara total dari enam perusahaan ini bisa mencapai total Rp 300 triliun.

“Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini saja, kerugian negara total 300 triliun rupiah. Kerugian negara sudah berjalan 300 triliun rupiah. Ini kita hentikan,” tegasnya.

Presiden juga memberikan apresiasi kepada aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung, TNI, Bakamla, dan Bea Cukai yang telah bertindak cepat dalam mengamankan aset negara.

“Saya ucapkan terima kasih kepada aparat: Panglima TNI, Angkatan Laut, Bakamla, Bea Cukai, semua pihak yang telah bergerak dengan cepat sehingga bisa diselamatkan aset-aset ini. Ke depan, berarti ratusan triliun itu bisa kita selamatkan untuk rakyat kita,” ujar Prabowo.

Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen untuk terus memberantas segala bentuk pelanggaran hukum di sektor sumber daya alam tanpa kompromi.

“Jadi, ini suatu bukti bahwa pemerintah serius, sudah bertekad untuk membasmi penyelundupan, membasmi illegal mining, membasmi semua yang melanggar hukum. Kita tegakkan, dan kita tidak pandang siapa-siapa di sini,” tutupnya.

Presiden Prabowo menegaskan penyitaan tambang ilegal dan pengembalian aset ke negara ini merupakan langkah nyata pemerintah dalam menegakkan Pasal 33 UUD 1945, guna memaksimalkan kekayaan negara demi kemakmuran rakyat.

Sumber: Investor.id | Editor: Deka 'Febe'


Pilihan Redaksi




Baca Juga