Promo

Rima Kegagalan dan Bebal Abadi PSSI

Sabtu, 18 Oktober 2025 18:09 WIB | 388 kali
Rima Kegagalan dan Bebal Abadi PSSI

Erick Tohir, Ketua Umum PSSI


Senja tiba, tiraipun jatuh. Mimpi mendunia telah meredup, terhempas oleh kekalahan sendu.

marikitabaca - Bukan hanya kegagalan, namun gugurnya asa yang telah lama dirawat. 

Bayangan Piala Dunia seolah mendekat menyapa hangat tapi segera pergi, ditarik oleh takdir yang sinis. Dan seperti biasa, badai pun datang menuntun tumbal mencari siapa yang paling pantas disalahkan. 

Alhasil, Patrick Kluivert pergi di ujung jalan, dibuang dengan dalih kegagalan yang klise dan tak terhindarkan.

Sebuah kisah yang terulang, ritual pemecatan tanpa kesudahan, hukum cepat yang diputuskan di tengah gemuruh caci maki supporter. 

Ia datang membawa nama besar, pergi membawa beban cemar. Sebagai debu yang ditiup angin janji, ia menjadi korban dari ekspektasi yang gila, di negeri yang haus bintang berbijar.

Toh, Kluivert hanya bidak, dan kursi pelatih timnas memang selalu panas, tak pernah dingin. 

PSSI kembali menampilkan theater drama yang satir, selalu memilih solusi yang paling mudah, sering reaktif, bukan proaktif. Dalam setiap langkah dan pikir, pelatih silih datang dan pergi bagai bidak catur di papan abadi. 

Setiap kegagalan di Timnas selalu dijadikan momentum mengobati dengan pil pahit pemecatan, seolah akar masalah telah terbenam.

Kontroversi kebijakan berdebur, tak peduli badai, ataupun geram. PSSI terlalu asik di panggung utama, disorot lampu Piala Dunia yang fana, menjadi maestro dalam mengelola momentum. 

Setiap peluang, setiap kemenangan, dijadikan bahan bakar euforia massal. Fokus menyempit hanya tertuju pada kilauan Timnas, seolah ia adalah satu-satunya entitas sepakbola, yang lain hanyalah debu dan hampa, mengabaikan ladang-ladang di bawahnya yang kering. 

Liga kita, fondasi yang rapuh, terbaikan dalam hirup pikuk euforia yang semu. 

Pembinaan usia dini, infrastruktur, sumber daya manusia, kompetisi akar rumput yang lugu, semua tenggelam di bawah glamor proyek instan mencari pahlawan baru.

PSSI terlalu asik memainkan sandiwara di politik internal hingga panggung internasional, lupa merawat kondisi di rumah sendiri.

PSSI menggembar-gemborkan cetak biru, blueprint megah namanya "Garuda Mendunia 2045".

Judulnya indah menggetarkan jiwa, tetapi isinya, ah, masih saja berupa fatamorgana, terkesan hanya merespon kegagalan dengan janji masa depan yang terlalu jauh. 

Sebuah pelarian dari tanggung jawab masa kini, mantra yang ditiupkan agar kritik mereda. Target lolos Piala Dunia 2038 seakan melompat tanpa tangga yang nyata, bukan roadmap detail yang terukur, melainkan visi abstrak dan janji di atas kertas, yang mudah lapuk dan terlupa. 

Di mana peta jalan untuk filosofi bermain? Di mana reformasi total tata kelola? Kita butuh fondasi batu, bukan rumah pasir yang rentan dan mudah sirna.

PSSI, siapapun di tampuk kekuasaan, hentikanlah kebebalan dan tarian reaksioner di atas penderitaan. Sepak bola bukan sprint pendek, melainkan maraton yang butuh kesabaran dan perincanaan. Jangan hanya fokus ke hasil, ke momen "nyaris lolos" yang membuat dada berdebar. 

Lihatlah ke bawah ke Liga yang harus profesional, ke sekolah sepakbola yang harus mekar. Bangunlah DNA sepak bola Indonesia yang jelas, yang konsisten dari akar rumput hingga panggung profesional.

Ciptakan ekosistem yang mandiri di mana pelatih tak mudah diusir. Di mana bibit tak sekadar disetor.

Mari kita merenung di jeda setelah kejatuhan ini, bukan hanya menyalahkan arsitek, tapi memeriksa kerangka bangunan.

Berdiri membangun sepakbola ideal bukan hanya mengganti kapten di kapal yang oleng, tapi merancang ulang kapal itu sendiri agar kokoh di lautan badai membentang.

Kegagalan ini adalah cermin bukan akhir. Mari kita tatap pantulan itu dengan kejujuran yang pedih. Karena untuk mencapai tradisi kejayaan, kita harus berhenti mengejar bintang jatuh dan mulai menanam benih di tanah sendiri.

Itulah satu-satunya rima sejati yang akan abadi. Kita perlu bangun struktur yang tak tergoyahkan, bukan pada ilusi momentum, bukan pada nama besar yang disewa. Tapi pada keseriusan yang tak terlepaskan.

Kluivert telah pergi, tapi pelajaran ini harus tinggal, bahwa kebijakan kontroversial dan fokus prematur hanya akan membuat kita tertinggal.

Bangunlah roadmap yang nyata dari ujung rumput hingga puncak menara, agar kelak Garuda terbang bukan karena keajaiban, tapi karena rencana dan cinta yang membara.

Penulis: Irawan Dwi Ismunanto | Sumber: Panditfootball.com


Pilihan Redaksi




Baca Juga

Kisah Satu Malam Eric "Si Belut"
Jum'at, 15 Agustus 2025 04:31 WIB
SBC Selindung Juara PSL 2024 tanpa Terkalahkan
Minggu, 15 September 2024 12:03 WIB
Jalan Panjang Persipas untuk Kembali Disegani
Senin, 19 Agustus 2024 19:37 WIB