Politik: Jangan Takut untuk Terkejut
Foto: ist
"Air sama air kelak menjadi satu, alur sampah kan ke tepi jua". Peribahasa Melayu ini mengajarkan satu falsafah: Jangan mengurusi hal yang masing-masing diri kita telah menetapkan. Karena pada akhirnya, semua akan bertemu di tempat yang sama. Yakni budak dari kekuasaan.
Penulis tak punya rekam pernah berdiri di atas pundak partai. Cuma sesekali jadi penggembira. Yang namanya penggembira, jika pesta telah selesai, bisa dibuang tanpa alasan; namanya juga penggembira.
Tapi penulis sadar, selama hayat di kandung badan, politik adalah pilihan pahit yang musti ditelan. Termasuklah pesta kedua di Kota Pangkalpinang. Kota berarti yang masih harus terus tersenyum.
Mau tidak mau, alasan di atas adalah kata koentji untuk kita harus turut serta di rencana Pilkada ulang Kota Pangkalpinang tahun ini, tepatnya pertengahan Agustus--itu kata KPU. Pesta yang mengasyikkan yang nantinya pasti membuat tangis dan tawa bercengkrama dalam satu kisah: menang dan kalah.
Soal siapa-lawan-siapa. Partai apa-mengusung-siapa, itu masih rahasia dapur mereka, "Air sama air kelak menjadi satu, alur sampah kan ke tepi jua". Itu urusan mereka. Hitung-hitung topografi telahlah mereka ukur, sanding dan baru nanti urusan sandang.
Tapi. Sekali lagi, tapi, tak akan bisa ditampikkan, pasti akan ada 'perang' perbedaan di arus bawah, darat dan udara. Yang sudah terjebak sejak ada rencana Pilkada ulang.
Kita, punya hak yang sangat dijaga undang-undang, sekaligus kita juga harus siap menyadari akan selalu ada perbedaan dalam berpendapat. Karena hak itu sudah dijamin Negara dengan kadar yang sama setiap warga Negara.
Tak ada lagi paksaan untuk anda, tak berhak lagi anda untuk memaksa. Dan jika di Indonesia masyarakatnya sudah lantang bicara soal demokrasi dan mengaplikasikannya dengan rasa tanggungjawab, kemudian bisa bebas bersuara kapan dan di mana saja dengan tetap menjaga norma hukum, adat dan kearifan, itu mengisyaratkan bahwa kita adalah rakyat yang istimewa. Setara.
Dan peradabannya sudah tinggi. Setiap kalimat demokrasi terucap, itu laksana lampu pijar terang yang menjadi modal penuntun supaya kita bisa memastikan hak kita tersalurkan, dengan tetap berada di jalur yang telah diamanatkan konstitusi. Karena demokrasi hakikatnya merupakan bentuk hak kesetaraan dalam mengambil keputusan yang bisa mengubah hidup.
Salah satu media ternama Amerika Serikat, The Economist, merilis sebuah survei Indeks Demokrasi Dunia tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Dan hasilnya dalam kacamata survei mereka, demokrasi Indonesia dianggap tak terlalu bagus.
Indonesia mendapat penilaian yang masih jauh dari harapan. Dari lima variabel penilaian seperti penilaian dari proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik dan kebebasan sipil, Negara kita ada di urutan 68 dan tergolong dalam kategori Negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76) (dikutip dari liputan6.com).
Apa maknanya?
Kita masih sering memaksakan kehendak pilihan agar orang lain harus sama dengan kita. Perkara itu pilihan baik, bijak atau buruk, yang penting anda harus ikut saya. Jadi tidak salah jika survei indeks demokrasi kita masih gerak di tempat, kalaupun maju, cuma sedikit. Itupun mundur lagi.
Menyoal Pilkada ulang Kota Pangkalpinang, ternyata ide moral, yang berupa gagasan atau keyakinan tentang apa yang dianggap benar atau salah dalam perilaku manusia, terutama yang berkaitan dengan tindakan dan sikap dalam kehidupan sehari-hari, dianggap jadi penasbih dan alat tabuh untuk menilai moralitas mencakup norma-norma dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menilai baik buruknya calon. Padahal, di satu masa sendiri, moral kita, tak mau dibaca orang.
Dan partai? Maaf saja, mereka orang-orang pintar. Mereka tahu jika salah usung, mereka nyaris tak punya rugi. Karena sebelum calon terpinang, maka sandang, pangan, papan telah terlebih dahulu disuguhkan di atas nampan. Sudah kenyang di depan. Kalah dan menang tak banyak ber-gelabah dan halai-balai bagi mereka.
Makanya, penulis cuma ingin menyebut, bahwa politik bukanlah ajang untuk terkejut. Karena kita yang bicara moral dan jadi patokan memilih, malah sebenarnya moral kita sendiri yang terdegradasi. Harapan kita, calon dan parpol jangan banyak-banyak kasih kejutan. Karena Pilkada tinggal satu bulan setengah lagi. Kasih kami lidah untuk mencerna calon kalian.
Pepatah Jawa mengatakan "Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono": Kehormatan diri seseorang dari ucapannya sedangkan harga diri tubuh dari pakaian. Jadi berhati-hatilah, jangan salah pasang jagoan kalian, karena kami tidak mau terkejut dengan kejutan-kejutan politik. Karena Pangkalpinang di antara beribu dogma-nya, harus tetap tersenyum agar terus berarti.
Penulis: Putra Mahendra | Seorang jurnalis yang tidak punya UKW
Klik juga artikel
- Strategi Sunyi Molen: Langkah "Garpu"
- Perpisahan dan Wisuda Sekolah: Bukan Sekadar tentang Gaun dan Panggung Mewah
- Molen: Yang Ditakuti, Yang Dirindukan