Promo

Misteri Kalimat "Terima Kasih" di Film Minions

Selasa, 25 Februari 2025 01:26 WIB | 786 kali
Misteri Kalimat "Terima Kasih" di Film Minions

Pierre Coffin. Nama itu muncul di akhir film Minions bukan hanya sebagai sutradara, tetapi juga pengisi suara Kevin. 

MARKICA - Pasti kamu nggak nyangka kan, kalau yang nyiptain Minions itu orang Indonesia?

Namanya sama sekali tidak Indonesia. Pierre kelahiran Perancis, 1 November 1967. Tapi di tubuh sang sutradara sejatinya mengalir darah Indonesia.

Ia merupakan putra penulis kondang Indonesia, NH Dini dengan diplomat Perancis Yves Coffin.

Jika melihat nama panjang Pierre, Anda pasti langsung paham bahwa ia Indonesia.

Pierre-Louis Padang Coffin. Padang seperti kota Padang di Sumatera Barat. Juga seperti Padang Ilalang di Belakang Rumah, novel NH Dini.

Dan tebak nama panggilannya. Ya, dia dipanggil Padang.

Kebersamaan Pierre dengan NH Dini memang tidak lama. Keduanya berpisah saat Pierre berusia 17 tahun. Kala itu NH Dini cerai dan kembali ke Indonesia. 

Sedang Pierre menetap di Perancis bersama sang ayah dan saudaranya, Marie-Claire Lintang. Ya, ada nama Indonesia juga di situ.

Karena hanya bersama sang ibunda sampai remaja, Pierre tidak terlalu mengenalnya. Saat diwawancara VOA Indonesia ia mengaku, dirinya bahkan tak membaca karya-karya ibunya.

Pierre beralasan, karya-karya itu tak diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Aneh, padahal NH Dini menikah dengan diplomat Perancis.

"Sebenarnya agak aneh karena karya-karya ibu saya tidak pernah diterjemahkan dalam bahasa Perancis, jadi saya belum pernah membaca buku-buku klasik tulisannya," ujar Pierre.

Meski begitu, kelamaan ia belajar bahwa ibunya punya nama di Indonesia. NH Dini bahkan termasuk bagian dari sejarah sastra kita.

"Saya tidak tahu benar persepsi orang-orang tentang ibu saya. Tapi saya tahu banyak temannya yang sangat mengaguminya," katanya.

Pierre jelas bangga. Namun di sisi lain, ia juga mengaku malu pada dirinya sendiri. Karena itu ia berusaha membaca karya ibunya. Jika ada kata-kata Indonesia yang tidak ia pahami, Pierre bertanya pada teman-teman sang ibunda.

"Ternyata ia banyak menulis tentang kami sebagai keluarga. Saya sangat ingin membaca semua buku-bukunya," tutur pria 48 tahun itu.

Pierre memang hanya ingat sedikit tentang ibunya. Tapi tercetak jelas di memorinya, NH Dini selalu mengenalkan budaya Indonesia padanya saat kecil. Ia sering diajak ke KBRI.

"Saya ingat ketika masih kecil, ibu sering membawa saya ke Kedutaan Besar Indonesia di negara kami menetap. Saya ingat semua yang dilakukan. Sampai sekarang saya masih ingat irama musik tradisional Indonesia," kata Pierre. 

Lidahnya juga masih Indonesia. Baginya, kuliner kita yang terenak di dunia.

Samar-samar ia pun masih ingat bahasa Indonesia. Ia menuturkan, "Bahasa Indonesia, menurut saya adalah bahasa yang sangat indah, seperti alunan musik." Tak heran ia memasukkan bahasa Ibu ke bahasa Minion atau bahasa Banana. Di film Despicable Me 2, terdengar "masalah". Di Minions, ada "terima kasih".

Pierre membuat bahasa Minion yang terdengar hanya seperti celotehan tak beraturan, berdasarkan bahasa-bahasa yang ia sukai.

"Campuran berbagai bahasa yang saya sukai, seperti Spanyol, Italia, Inggris, Indonesia, dan Yunani. Sebenarnya yang ditekankan adalah sonority atau resonansi suaranya. Bahasa Minnions tidak bisa dimengerti, tapi diketahui dari bagaimana suaranya, proyeksinya, bagaimana membaca kalimatnya, karena semua sudah saya tulis. Yang utama penyampaiannya, bukan arti kata-katanya," Pierre menerangkan.

Alih-alih meneruskan jejak sang ibunda sebagai penulis, Pierre masuk ke dunia film. Sama-sama dunia kreatif, tapi ia lebih tertarik pada hal-hal bersifat visual. Bakat Pierre terasah saat ia belajar di sekolah animasi Gobelins di Paris. Setelah itu ia bekerja di Amblimation.

Gobelins dikenal sebagai penghasil animator-animator canggih. Beberapa lulusannya dipekerjakan di Disney, Universal, Hanna Barbera, Pixar, Warner Bros, dan DreamWorks. Pierre mengawali karier di fasilitas pembuat film 2D di London. Ia menggarap We're Back! A Dinosaur's Story. Film itu memasang nama Steven Spielberg sebagai eksekutif produser.

Karier Pierre tak mentok sampai di situ. Ia menjadi animator lepas di studio CGI Perancis, Ex Machina. Dari animator biasa, ia naik pangkat menjadi supervisor animator. Setelah bertahun-tahun meniti karier, barulah ia menjadi sutradara lewat sebuah film pendek.

Judulnya Pings, rilis pada 1997. Iklan-iklan pun ia jabani. Pierre bekerja sama dengan Passion Pictures Paris dan Mac Guff. Ia lalu menciptakan karakter dalam serial televisi populer, Pat and Stan. Baru 2010 Pierre membuat film animasi panjang, Despicable Me.

Filmnya ternyata sukses. Ia kemudian membuat Despicable Me 2 bersama Chris Renaud. Kini, bersama Kyle Balda ia membuat spin off-nya, Minions. Pierre juga menyuarakan para Minions di film-film itu, terutama yang bernama Kevin. 

Orang yang Ramah

Pria tinggi kurus dan berkaca mata itu terlihat seperti orang kebanyakan.

Tampangnya ramah, tak henti tersenyum. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan sembari mengangguk-angguk, lalu terhenti pada tiga orang di hadapannya. Salah satunya CNNIndonesia.com, yang disapanya dengan hangat.

“Halo,” katanya bersemangat.

Pria itu lalu ikut saja ke mana ia diperintah. Duduk di taman pun boleh. “Tapi saya merokok dulu ya,” ujarnya sebelum wawancara, lalu asyik mengebulkan asap. Usai menyundutkan sigaret ke asbak, ia meneguk air putih.

“Silakan, bisa mulai kapan saja,” masih dalam bahasa Inggris.

Sekilas, tak terlihat bahwa pria berambut abu-abu itu adalah sineas kenamaan yang sudah wira-wiri di karpet merah pemutaran layar lebar Hollywood. Orang mungkin lebih mengenal sosok kuning berbahasa ‘alien’ yang diciptakannya.

Stuart, Kevin dan Bob

Pria yang duduk di hadapan CNNIndonesia.com sore itu di tengah udara Ubud nan sejuk adalah Pierre Coffin, kreator minions. Ia menjadi salah satu pembicara di Ubud Writers and Readers Festival 2017, bersama ibunya sastrawan Nh Dini.

Sebelum si imut minion Bob berkata ‘terima kasih’ kepada Ratu Inggris dalam film Minions, tak banyak orang Indonesia berbincang soal Pierre. Identitasnya sebagai pria berdarah Indonesia baru ‘tepergok’ setelah kata itu muncul.

Padahal aslinya Pierre tidak berbahasa Indonesia.

“Ayah dan ibu saya bercerai terlalu cepat, dan saya ikut ayah saya. Jadi saya tidak bisa bahasa Indonesia,” ia berkata. Ayahnya Yves Coffin, yang menikahi Dini pada 1960 di Jepang. Pierre lahir sebagai anak kedua, pada 1967.

Sebelumnya, sang kakak Marie-Claire Lintang lahir pada 1961.

Pierre-Louis Padang Coffin, begitu nama yang melekat pada Pierre saat dilahirkan di Perancis, harus menghadapi perceraian orang tuanya pada 1984. Usianya masih 17 tahun. Ia ikut ayahnya, sementara Dini kembali ke Indonesia.

Ia sebenarnya masih sering bertemu ibunya. Entah Pierre yang ke Indonesia atau ibunya yang datang ke Perancis. Tapi hanya beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang dikuasai Pierre. “[Terima kasih] itu mudah, nyantol banget di ingatan saya,” ujarnya, yang lalu menjadikan itu salah satu bahasa minions.

Tapi kata lain, ia hampir tak paham. “Kebanyakan hanya yang berbasis makanan. Nasi goreng, teh manis, sate,” ia menyebutkan, lalu tertawa. Pierre memang suka makan dan memasak, termasuk makanan Indonesia. Ia bahkan mengaku suka kecap, yang biasa ia bubuhkan jika memasak barbeque bersama keluarga.

“Dimakan sama bumbu sate dan kerupuk, itu yang terbaik,” tuturnya.

Ia juga tak membaca buku-buku ibunya sendiri, yang begitu populer di Indonesia. Dini dikenal dengan buku seperti Sekayu, Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Hati yang Damai, dan banyak lagi. Tokoh utamanya selalu perempuan.

Pierre menuturkan, banyak orang datang kepadanya dan membanggakan buku ibunya yang mereka baca. Bahkan buku pertama Dini disebut-sebut diajarkan di sekolah-sekolah. Tapi pria 50 tahun itu tak bisa merespons banyak.

“Hampir tidak ada yang diterjemahkan ke bahasa Perancis atau Inggris,” ia beralasan kenapa tidak membaca buku-buku ibunya sendiri. Namun, Pierre ingat betul 20 tahun lalu ia pernah membaca salah satu cerita pendek sang ibunda.

Itu bagian dari antologi. Cerita persisnya Pierre lupa.

“Tapi saya sangat menikmatinya,” komentarnya sambil tersenyum.

Terlahir dari orang tua diplomat dan penulis, Pierre banyak membaca sejak kecil. Tapi sang ayah tidak memperbolehkannya menonton televisi. Pierre kecil pun frustrasi. Ia akhirnya mencari kegiatan yang bisa dilakukan saat bosan.

“Saya banyak membaca, saya banyak menggambar,” katanya.

Pria yang menyukai karakter kartun Droopy itu merasa, kondisi yang diciptakan ayahnya sedikit banyak memaksanya mengembangkan bakat yang lain. Di banyak waktu luang yang dimiliki, Pierre mengambil pensil dan mulai menggambar.

Sumber: CNN/berbagai sumber




Baca Juga