Promo

Manusia, Mahluk Menjijikkan: Sumber Kutukan dan Malapetaka

Minggu, 09 Maret 2025 23:35 WIB | 1.059 kali
Manusia, Mahluk Menjijikkan: Sumber Kutukan dan Malapetaka

Kejahatan manusia tampak di depan muka namun seakan tiada siapa yang mampu bicara.

MARKICA - Manusia dan dunia sedang berada di tingkat yang tidak baik-baik saja dalam khazanah emosional.

Jiwa-jiwa yang rusak telah bersetubuh dengan prilaku kebinatangan yang menjijikkan dalam diri mahluk yang menamakan dirinya; manusia.

Keserakahan, egoisme, perlawanan, keinginan untuk menang, menyakiti, tersakiti, dan kebimbangan emosional manusia telah berada pada titik yang buruk sejak dahulu kala.

Mulai dari pembunuhan, penyiksaan, pembantaian, genosida, hingga korupsi yang tidak ada habis-habisnya, adalah ciri absah manusia.

Di kalangan pemerintah, keserakahan, pengeksploitasian sumber daya alam telah luar biasa menghancurkan tatanan.

Hutan-hutan yang dulunya hijau sekarang menjadi gersang karena tambang. Pemanasan global. Krisis iklim. Agama dijadikan mainan untuk memperoleh kekuasaan. Pemerkosaan. Kekerasan seksual. Perjudian. Pencurian. Penipuan. Nafsu birahi, seakan tidak mampu terelakkan.

Semua hal-hal itu yang dikaitkan dengan sifat-sifat setan. Semua seperti diambil alih oleh manusia yang mengagungkan akal.

Sepertinya manusia melebihi apa yang bisa diperbuat oleh setan. Dan mungkin sekarang, manusia seperti menjadi kejahatan itu sendiri.

Manusia adalah malapetaka bagi dirinya sendiri. Dan dari semua kejahatan dan kegilaan yang menyata di kehidupan kita, kita jadi bertanya-tanya, apakah manusia hanya tinggal kenangan?

Dalam kitab-kitab agama, penciptaan manusia memang suatu kesalahan pada asalnya, atau memang, semengerikan dan semenjijikan itu makhluk yang bernama manusia?

Manusia adalah kemuliaan sekaligus sampah semesta. Demikian kesimpulan filsuf Prancis, Blaise Pascal pada tahun 1658. Dan sampai saat ini tidak banyak yang berubah.

Manusia masih terus mencintai dan terus saja saling membenci.

Manusia masih mengeluarkan tangannya pada kemanusiaan, di waktu yang sama, dengan terus menerorkan senjatanya pada setiap kepala-kepala manusia.

Kita tentu memahami jika seseorang menyerang sebagai bentuk pembalasan atau membela diri. Namun ketika seseorang menyakiti orang yang tidak bersalah, kita bertanya-tanya, bagaimana bisa, ketika kita berbicara tentang tindak kejahatan, kita selalu bernaung pada aturan etika dan moral?

Dalam aturan, paling tidak kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum. Akibatnya seseorang dapat dijerat hukum.

Dalam perspektif hukum perilaku kejahatan terkesan aktif, dalam perspektif moral perilaku seseorang dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki dua faktor: satu, mens rea atau adanya niatan untuk melakukan kejahatan, kedua, actus reus yang mana perilaku kejahatan terlaksana tanpa paksaan dari orang lain.

Dari segi pelaksanaannya, kejahatan bisa dibagi menjadi dua. Yakni, kejahatan terorganisir, yaitu yang memiliki sistim dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan.

Kemudian, yang tidak terorganisir, yaitu kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir.

Berdasarkan data Puskinas Polri, sejak tanggal 1 Januari sampai 17 Mei pada tahun 2024 saja, sudah ada 140.335 kejahatan yang terjadi di Indonesia.

Jenis kejahatan yang paling banyak ada pada bentuk pencurian. Pembunuhan sendiri dalam data itu tercatat pada 4 tahun terakhir sudah lebih dari 3000 kasus yang diungkap oleh kepolisian. Dan dalam kasus pembunuhan itu, pelaku dan korban justru saling mengenal.

Pada hari Jumat di tanggal 3 Mei di tahun 2024 di Dusun Sindang Jaya Desa Cisontrol Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis Jawa Barat, ada seorang suami yang diduga depresi, membunuh istrinya.

Dan potongan dagingnya dibawa-bawa dan ditawarkan kepada tetangga. Beberapa hari kemudian tepatnya pada hari Senin tanggal 13 Mei tahun 2024 di Kampung Cilandak Desa Sekarsari Kecamatan Kalibunder Sukabumi, seorang anak yang kesal karena sering dimarahi memutuskan untuk membunuh ibu kandungnya dengan garpu tanah.

Setelah sehari melakukan pembunuhan, sang anak yang bernama Rahmat dengan membawa uang Rp300.000 datang ke teman yang bernama Fahrudin dan meminta untuk membunuhnya. Rahmat minta dibunuh karena merasa bersalah telah membunuh ibunya.

Pada tanggal 9 Juni tahun 2024 lalu di Mojokerto ada seorang istri yang berprofesi Polwan membakar suaminya yang juga berprofesi Polisi. Pembakaran ini diduga karena sang istri frustasi karena uang belanjanya selalu dipakai oleh suami untuk main judi online.

Pertanyaannya, dari mana asal semua kejahatan ini?

Dari beberapa kasus pembunuhan yang telah disebutkan, ada banyak faktor yang membuat manusia-manusia tersebut memutuskan untuk melakukan pembunuhan.

Motif utamanya kebanyakan muncul karena faktor emosional, seperti sakit hati dan dendam. Dalam dunia kriminologi ada teori rasional choice theory atau teori pilihan rasional, yang menyebabkan beberapa faktor yang membuat seseorang mau menjadi pembunuh atau termotivasi melakukan pembunuhan.

Faktor utamanya, tentunya adalah materi dan perhitungan untung rugi. Dalam hal ini untung rugi tidak selalu berkaitan dengan uang tapi bisa berkaitan dengan banyak hal, seperti misalnya, kebebasan, rasa senang dan kepuasan.

Hal-hal seperti ini dalam rasional choice theory menjadi daya tarik yang sangat kuat untuk mau melakukan pembunuhan.

Faktor kedua, adalah emosi. Emosi seperti kita ketahui dan sering kita rasakan sendiri, bahwa ia kerap kali bersifat dinamis, naik dan turun. Untuk itu emosi secara psikologis berperan besar dalam memotivasi seseorang untuk melakukan pembunuhan.

Seseorang yang memiliki rasa dendam kondisi jiwanya sering kali tidak stabil. Mereka merasa sakit hati, kecewa, marah dan tidak mampu menerima dan memaafkan perlakuan buruk dari orang lain. Emosi inilah yang bisa menjadi pembangkit mengapa seseorang mau menjadi pembunuh.

Faktor ketiga seseorang melakukan pembunuhan, karena merasa dirinya mampu.

Dan faktor keempat, adanya suatu kuasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan tertentu secara psikologis merasa mampu untuk menghilangkan segala jejak perbuatannya agar terhindar dari jerat pidana.

Untuk faktor kuasa tentu kita sering menemuinya dalam kasus-kasus yang melibatkan aparat negara.

Manusia seperti binatang

Dave Grosman, penulis buku On Killing the Psychological Cause of Learning to Kill in War and Society menyatakan, bahwa manusia memiliki sifat dasar seperti primata lainnya.

Dev yang juga merupakan mantan tentara Amerika ini menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primatanya. Dalam hal ini Dev menyatakan bahwa mayoritas para kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul sesuatu hal yang mengganggu.

Jika muncul konfrontasi antar kelompok yang dianggap mengganggu, maka pihak musuh dianggap inferior sekaligus mara bahaya yang harus dilenyapkan. Maka untuk mendapatkan posisi sebagai superior, para kera ini melakukan pertarungan, hingga tak jarang sampai menghilangkan nyawa dari lawannya.

Dan hal ini juga terjadi pada kita selaku manusia. Walau tidak dapat dipukul rata bahwa semua manusia memiliki keinginan untuk membunuh, tetapi neurolog bernama Jonathan Pinkus dalam bukunya Best Instinct What Makes Killer Skill menyatakan kesimpulan yang serupa, bahwa manusia akan cenderung melakukan aksi membunuh manusia lainnya dalam usaha mempertahankan diri, atau menyelamatkan nyawa sendiri.

Analisa sifat dasar manusia sebagai pembunuh ini sempat dituliskan juga oleh Review Global berdasarkan penelitian dari David Moss, seorang psikolog sekaligus Profesor di University of Texas di Austin.

Penelitian yang dilakukannya ini mengemukakan sekitar 91% pria atau 84% wanita memiliki keinginan untuk membunuh makhluk hidup lain, baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan.

Selain itu, penelitian-penelitian lain juga banyak yang menyatakan bahwa aktivitas saling bunuh pada manusia merupakan alur dari genetik etika atau sosiobiologi, sampai alur evolusi manusia.

Sebab ternyata insting manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan cara bersaing sudah berada sejak di dalam rahim.

Reaksi ini diperlihatkan dalam sebuah hasil MRI pada janin kembar untuk mendapat ruang yang maksimal pada rahim ibunya.

Mereka tidak segan untuk menendang dan mendorong saudaranya. Mungkin inilah awal mula alasan munculnya sifat egois dan kejam pada manusia saat merasa terpojok dan terancam.

Insting untuk bertahan hidup memang tidak pernah lepas dari sifat binatang yang dimiliki oleh manusia. Berbicara mengenai kehidupan di tingkat kebinatangan, hukum alam menggambarkan bahwa kehidupan baru dikatakan berjalan, ketika hewan sudah saling memangsa.

Bahaya untuk dimangsa oleh predator lain yang lebih dominan akan selalu mengancam dari menit ke menit, siklus kehidupan tersebut dapat kita samakan saat manusia ada dalam peperangan.

Perang adalah bentuk kebinatangan manusia

Berbicara tentang perang dalam kacamata normal, kita harus selalu siap tentang bencana, namun sialnya, dalam dunia internasional, bencana dalam peperangan terkadang dimuliakan dan bahkan dirayakan.

Dalam perang ada sesuatu kekompleksan. Di sana mengandung banyak sisi unsur definisi dan varian. Perang dapat dilihat dari dua sisi, yakni positif dan negatif, yang bergantung pada dampak frekuensi skala motivasi dan tren perkembangan yang lahir kemudian setelah peperangan.

Namun di luar itu pada dasarnya dampak yang dihasilkan oleh perang adalah selalu negatif, seperti rusaknya tatanan sosial, ekonomi, lahirnya trauma jangka panjang, kelaparan, malnutrisi pada anak-anak, disabilitas dan juga timbulnya berbagai penyakit.

Dan semua peperangan yang ada dalam buku sejarah kita semua membuktikan hal ini, namun manusia dengan akalnya selalu mencari pembenaran akan suatu peperangan.

Immanuel Ken, filsuf besar Jerman bahkan menyatakan bahwa tendensi perang telah tertanam dalam kodrat manusia, dan Ken yakin, bahkan menyatakan bahwa perang perlu dianggap mulia, karena perang dalam pandangan Ken mendorong manusia ke arah nilai luhur, seperti perdamaian, menjaga martabat dan juga tidak mementingkan diri sendiri.

Sejalan dengan itu Jean Paul Sartre filsuf eksistensialis kenamaan dari Prancis menganggap, tindakan perang sebagai pilihan bebas manusia, sebab itu lahir dari otak manusia.

Perang adalah suatu insting manusia terutama dalam keadaan terancam. Dalam perang, manusia memang tidak jauh berbeda dengan binatang. Segala kecenderungan kontradiktifnya dilakukan secara bersamaan.

Perang menggambarkan kemanusiaan dalam bentuk terburuknya, di mana semua kecerdikan energi dan kapasitas manusia ditunjukkan untuk saling membunuh.

Sama dalam perang, semua seolah menjadi dibolehkan, perampasan, pemerkosaan penahanan, bahkan tidak sedikit kasus-kasus yang menunjukkan para tahanan perang yang mana adalah sesama manusia, dijadikan bahan uji coba ilmu pengetahuan.

Seperti misalnya Unit 731 milik Jepang, Unit 51 milik Amerika dan camp konsentrasi Nazi adalah beberapa contoh tempat eksperimen ilegal yang membuat para tahanan menjadi objek uji cobanya.

Perang memang selalu mengerikan, perang adalah kekejaman.

Kata William Tekums Sherman (seorang pemimpin tentara Union Angkatan Darat Amerika Serikat pada masa terjadinya perang sipil/perang saudara) tidak ada yang dapat menyempurnakannya setiap upaya untuk menggali prinsip-prinsip moral untuk perang.

Perang tidak hanya ditakdirkan gagal, tetapi juga menyimpang secara moral. Tidak ada aturan untuk perang, sebagaimana tidak ada aturan untuk pembunuhan atau pemerkosaan.

Dari beberapa kasus pembunuhan dan peperangan di atas, lantas kita bertanya-tanya, dari manakah sifat-sifat sadisme itu berasal?

Sifat sadisme manusia

Beberapa orang berspekulasi bahwa sadisme adalah adaptasi yang membantu kita menyembelih hewan saat berburu, yang lain berpendapat, bahwa sadisme turut membantu orang untuk mendapatkan kekuasaan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, ilmu saraf menjelaskan bahwa sadisme bisa menjadi taktik dalam bertahan hidup yang dipicu oleh masa-masa sulit.

Ketika makanan tertentu menjadi langka, tingkat neurotransmitter kita, yakni serotonin menjadi turun. Ini membuat manusia lebih rela menyakiti orang lain, karena dengan menyakiti ada perasaan yang membuat manusia menjadi lebih menyenangkan.

Salah satu perkara besar dalam dunia filsafat adalah, pembicaraan tentang manusia menjadi perkara bukan karena kompleksitas masalah yang harus didekati dalam diri manusia, tetapi juga karena diri manusia menyimpan sekaligus misteri dan ketidak berhinggaannya.

Beragam pendekatan dengan segala variannya mencoba untuk mendekati manusia.

Mega proyek yang dikerjakan oleh kaum modernis misalnya, dengan memberikan tekanan pada esensi manusia, rupanya tidak cukup untuk menguraikan dan membahasakan perihal perilaku manusia itu sendiri.

Perdebatan dalam hal hakikat manusia itu, baik atau jahat, menjadi perdebatan yang tidak selesai sampai hari ini. Beberapa orang menyatakan pada dasarnya setiap manusia itu baik, namun ternyata persepsi tersebut adalah persepsi yang keliru.

Sebab pada dasarnya setiap manusia hidup mengikuti naluri, yakni bagaimana cara agar dia bisa terus bertahan hidup.

Thomas Hobbes adalah orang yang pertama kali dalam sejarah yang menyatakan bahwa pada kodratnya setiap manusia adalah sederajat.

Melalui idenya, Hobbes menggambarkan bahwa manusia adalah sepenuhnya bebas, termasuk untuk saling merugikan dan mencari keuntungan. Konsekuensi dari ide Hobbes adalah bahwa, tidak ada pemimpin, karena tidak ada seorang manusia pun yang berada lebih tinggi dari yang lainnya.

Kesimpulan dari pengandaian Hobbes menimbulkan keadaan lowless stage, kondisi tanpa hukum. Kondisi ini menyebabkan omnium contra omnes atau "perang semua atas semua". Dan bahwa untuk bertahan hidup manusia dapat mengalahkan sesamanya.

Terminologi Hobbes ini sering disalahartikan sebagai ungkapan skeptis terhadap proposisi politik, sehingga mengingkari konsekuensi dari kondisi yang digambarkan. Walau secara normatif kalimat tersebut mampu memancing perdebatan moral dan imoral, namun kenyataan bahwa manusia dapat memangsa manusia lain tidak dapat terbantahkan.

Jan Jacobin, seorang revolusioner romantik Prancis dalam bahasa utamanya tentang kontrak sosial, berusaha mengurai kondisi kodrati manusia. Ia menyatakan bahwa pada mulanya semua manusia bebas, tapi terdapat proses di mana akhirnya masing-masing terbelenggu.

Sebagian manusia yang berkuasa tidak menyadari bahwa mereka memiliki ketergantungan pada para budaknya. 

Sementara bagi mereka yang ditindas kemerdekaan hanya hadir saat mereka terlahir di mana mereka belum mengenal tanggung jawab dan keinginan.

Kondisi kodrati seperti dikemukakan oleh Jan di atas, dapat diatur melalui hukum yang terlahir melalui konvensi.

Manusia tempatnya dominasi

Sebelum melangkah jauh menuju kontrak sosial, masyarakat harus mengakui keberadaan si kuat dan si budak. Hubungan keduanya akan selalu dalam proses dominasi dan perlawanan yang menimbulkan konsekuensi. Tidak adanya kemungkinan hak untuk pemenang. Baik pihak tuan dan budak, akan saling menguasai.

Seperti dikemukakan oleh Thomas Hobbes seperti homo homini lupus yang berarti "manusia adalah serigala bagi sesamanya", karena itu Jan menyarankan masyarakat untuk menengok kembali pada konvensi societas (di mana ada masyarakat di situ ada hukum).

Yang pertama, individu dalam masyarakat sebaiknya berusaha membangun asosiasi di mana ada kepemilikan bersama dan organ politik yang mencakup hukum serta kehendak bersama.

Kontrak sosial pada akhirnya menjadi hukum bagi seluruh kepentingan di dalam masyarakat. Kontrak tersebut bersifat terbuka sekaligus instrumen bagi kebersamaan manusia, namun dari dua hakikat manusia, entah itu yang menyebutkan baik atau jahat, tidak lagi relevan dalam menilai manusia.

Sebab menurut Sartre dalam bukunya berjudul Being and Nothingtingness menyebutkan, bahwa hakikat manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya hakikat benda-benda.

Manusia bebas menentukan dirinya namun kebebasan itu adalah kutukan dari makhluk yang bernama manusia. Sebab melalui kebebasannya, manusia dituntut untuk bertanggung jawab. Dan karena kebebasannya yang bisa melakukan apa saja, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan.

Ini sesungguhnya membuat manusia merasa sendirian. Melalui kebebasannya inilah, hanya manusia yang bisa melakukan hal-hal yang di luar manusiawi.

Sebiadab apapun yang dilakukan manusia, itu tetaplah tindakan manusia. Sebab hanya manusia yang bisa melakukan hal tersebut. Binatang lain tidak bisa, setan bahkan malaikat, tidak bisa melakukan hal di luar kodratnya.

Kebebasan adalah kutukan

Kebebasan adalah kutukan bagi manusia. A. L. Kennedy dalam bukunya yang berjudul Grace and Power yang terbit pada tahun 1960 menegaskan bahwa, manusia secara fitrahnya memiliki kodrat hewani.

Alasan inilah yang menyebabkan manusia keluar dari aspek politik ekonomi budaya dan agama, lalu keluar dan berkumpul menjadi massa. Karena menurutnya, bentuk terendah dari penyelamatan diri adalah dengan berkumpul.

Bagi Kennedy, ini merupakan insting alamiah. Pergumulan itu bisa berdampak positif, pun sebaliknya, objeknya bermacam-macam, tergantung visi yang diusung-kembangkan.

Ketika filsafat tradisional berbicara tentang kebersamaan, Kennedy melihat bahwa kebersamaan itulah yang menjadi dasar manusia menciptakan massa. Massa juga dipicu atas kekuasaan tertentu.

Indonesia sudah beberapa kali terjadi keributan massa yang besar dan menyisakan korban. Massa yang menegakkan perspektif kebenarannya sendiri menjadi beringas dan buas dalam merespon hal yang salah.

Dalam kacamata mereka, keinginan selalu berjalan mendahului pemikiran.

Di dalam diri manusia yang paling dalam, yakni insting alamiah kebinatangannya, tidak peduli jika manusia sudah mencapai peradaban dan pengetahuan yang luhur, namun masih saja secara sosiologis manusia tetap melakukan kekerasan terhadap manusia yang lain.

Di Indonesia misalnya, dengan hukum yang tidak tegak seutuhnya, setiap kejahatan bisa seenaknya lolos dari segala konsekuensi. Dan membuat itu menjadi pengulangan yang mematikan. Mulai dari kejatan yang tidak selesai pada kasus pembantaian Madiun tahun 1948, kemudian terjadi kembali pada genosida orang-orang "kiri" pada tahun 1965 di seluruh Jawa dan Bali. Dan ketika kasus 1965 tidak pernah selesai dan selalu buram, tidak heran kejadian serupa pun terulang pada penculikan aktivis pada tahun 1998.

Semua tindak kejahatan dalam menghilangkan ribuan nyawa ini memiliki benang merah yang sama, yakni bertujuan hanya karena untuk menjaga nafsu kekuasaan.

Pertanyaannya, apakah kekuasaan harus selalu mengorbankan nyawa manusia?

Nyawa manusia untuk sebuah kekuasaan

Untuk menjawab itu Sigmund Freud (pendiri psikoanalisis, sebuah teori tentang cara kerja pikiran dan metode untuk membantu orang yang mengalami tekanan mental), dalam perspektif psikoanalisanya memiliki pandangan tersendiri tentang apa yang menjadikan manusia melakukan tindak kejahatan.

Bagi Freud, ketidakseimbangan hubungan antara ego dan superego membuat manusia lemah, dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan.

Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego yang berlebihan. Orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum.

Cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah, justru dengan melakukan kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan superego, karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.

Selain itu Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip kesenangan, manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan di dalamnya.

Termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup.

Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka manusia secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal.

Sebenarnya pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak-kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol itu.

Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya manusia dapat tumbuh menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan tersebut, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tindakan yang melanggar hukum internasional dan dilakukan secara sistematis terhadap masyarakat sipil. Kejahatan ini dapat berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, dan penyiksaan.

Ciri-ciri kejahatan terhadap kemanusiaan:

• Ditujukan kepada kelompok penduduk sipil
• Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
• Pelaku mengetahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil

Contoh kejahatan terhadap kemanusiaan:

• Pembunuhan
• Pemerkosaan
• Penahanan atau perampasan kebebasan fisik lainnya
• Perbudakan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak
• Perbudakan seksual
• Penyiksaan
• Apartheid
• Deportasi
• Penghilangan paksa orang
• Pemusnahan, termasuk "penimbulan kondisi kehidupan yang disengaja"

Aspek hukum

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bagian dari kejahatan inti terhadap hukum internasional dan tunduk pada yurisdiksi universal.

Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan berkembang melalui hukum kebiasaan internasional. 

Untuk itu Freud menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan manusia bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang lemah inilah yang membuat manusia rentan untuk melakukan kejahatan dan bersifat psikopat.

Jadi, wajarlah jika manusia adalah mahluk yang paling menjijikkan. Karena manusia adalah sumber kutukan dan malapetaka, bagi diri sendiri maupun semesta. Pathetic!

Penulis: Putra Mahendra/berbagai sumber




Baca Juga