Promo

Sisa Penghinaan, Glamor dan Etalase Pelacuran

Selasa, 22 Juli 2025 18:39 WIB | 1.134 kali
Sisa Penghinaan, Glamor dan Etalase Pelacuran

Para pekerja seks komersil di Dolly yang sedang didatangi petugas, yang kini lokalisasi itu telah ditutup.


Dua hari menjelang kepulangan saya kembali ke kota asal, ke Pangkalpinang, Bangka Belitung, salah satu teman sekamar selama pelatihan, mengajak saya ke luar untuk sedikit bergembira di salah satu pub. Anak kampung diajak ke pub, entah apa jadinya.

marikitabaca.id - Awalnya saya menolak karena memang tak terbiasa dengan dunia malam. Paling sesekali. Itupun belum tentu setahun tiga kali. Tapi kawan ini menegaskan kami tidak akan dugem, cuma minum bir dan bersantai sedikit.

Oke, akhirnya kami memutuskan tidak ke diskotik, tapi melipir ke lokasi lain. Yang katanya lebih santai. Kami ke wilayah Pasar Kembang. Gang Dolly. Setahun sebelum ditutup.    

Ceritanya, sekitar tahun 2013, tepatnya bulan Agustus, saya mendapat tugas untuk terbang ke Surabaya. Rencananya di sana saya harus belajar selama seminggu. Katanya biar saya lebih baik dan lebih pintar.

Di situlah saya sekamar dengan kawan yang mengajak saya bertualang dalam satu malam ke Gang Dolly. Gang yang pernah menjadi etalase perempuan penjaja terbesar di distrik Asia Tenggara.

"Tapi kita sepakat hanya untuk minum saja. Kita tidak mau pulang bawa yang aneh-aneh", itu kesepakatan kami.

Dan, setelah beberapa saat taksi yang kami tumpangi berputar-putar di lokasi, kami berhenti di toko, lebih mirip kios. Namanya wisma. Tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang. Ada 3 wanita duduk berjejer di luar. Dan ada 2 pria di dalam. Dengan beberapa botol minuman keras.  Kami berhenti di situ.

Lalu kami berdua memesan minuman.  Tapi maaf, saya tidak akan menuliskan apa dan bagaimana kami saat di kios itu. Walaupun kami menghabiskan sisa hari itu hingga pagi. Kira-kira apa yang dilakukan dua orang laki-laki di sebuah lokalisasi? Tentunya ngobrol.

Saya hanya akan menulis bagaimana Gang Dolly ini dulunya pernah menjadi sebuah 'kejayaan' pelacuran, kejayaan profesi tertua di muka bumi yang hingga saat saya berada langsung di sana, saya merasakan betapa maha dahsyatnya aura kebebasan dan 'brutal'-nya di sana.

Jam menunjukkan angka 1, kami berdua sepakat berjalan berkeliling, setidaknya sepertiga dari luas Dolly harus kami telusuri dini hari itu.

"Biar kita tak penasaran kawanku," ujar kawan ini.

Setengah jam kami berjalan sambil bersenda gurau dengan lelucon yang ala kadarnya, karena kami berasal dari dua wilayah yang sangat berbeda kultur. Saya dari Sumatera yang dikenal senang bercanda. Dan kawan ini dari timur, yang keras kalau bicara. Sehingga tidak ada lelucon khusus yang bisa kami tawar. Takutnya nanti saling tersinggung.

Tak bisa dipungkiri. Jika melihat Dolly secara langsung kita bisa menggambarkan bahwa dari dalam sangat berbeda dengan apa yang digambarkan dari luar. Saat berada langsung, kita akan melihat bagaimana sebuah wilayah yang kumuh, namun beberapa meter setelahnya, kita akan melihat lagi wilayah yang bersih dan berkelas.

Kata kawan ini, perbedaan yang hanya berjarak satu meter itu untuk menunjukkan 'kelas' pengunjungnya. Jika kita hanya bawa uang ala kadar, maka jangan berharap bisa masuk ke lokasi yang glamor, yang berkelap-kelip dan ditemani wanita cantik, muda, seksi dan wangi.  

"Ada harga, ada rupa." kata saya. Dan diiyakannya.  Kita semua (mungkin) tahu, bahwa di Dolly, ada sebuah kebiasaan, di salah satu (atau) beberapa wisma, wanita penghiburnya dipajang di dalam ruangan berdinding kaca mirip etalase.

Kita akan merasakan melihat pajangan itu layaknya ikan yang berada dalam akuarium. Semakin bagus ikan bergoyang, maka semakin menarik untuk kita tarik. Ya. saya anggap itu sebuah teknik penghinaan yang halus. Menggolek tubuh agar syahwat menggolak.

Di sini, wanita atau PSK benar-benar dibuat seperti pajangan baju, manekin, karena dengan begitu, para konsumen bisa dengan leluasa memilih siapa yang ingin 'menemani' mereka.  

Ternyata, dari apa yang kami dengar sejarahnya, dan memang telah berulangkali dituliskan, dipublish, bahwa cara memajang seperti ini sudah menjadi 'merk dagang' Dolly.

Adalah Tante Dolly, pelacur pertama yang menyulap Dolly ini sebagai distrik pelacuran terbesar. Sekitar tahun 1967 tante bernama Dolly Khavit mulai menjajakan tubuhnya. Dan bisnisnya berkembang, hingga menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial guna melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda.

Dulu. Para pelacur Dolly ini seperti mendapat ospek dan monitoring serta evaluasi (monev) bagaimana cara melayani pria hidung belang, sehingga siapapun yang sudah masuk, tak akan bisa berpaling lagi dari wanita-wanita Dolly. Puaskan servisnya, walaupun itu mengharuskan kaki terpisah. Itu kabarnya.

Mereka punya semacam teknik bagaimana memberikan servis yang terbaik bagi setiap laki-laki yang masuk, walaupun pasti akan pergi dan datang lagi ketika hasratnya menggebu karena servis yang diberikan sangat memuaskan. Servis yang sama untuk semua laki-laki.

Tapi seperti kita tahu, Dolly telah lama ditutup dan para alumninya terutama yang masih muda telah mengembara ke segala penjuru negeri. 

Bahkan, mungkin ada di sekitar kita, para saksi-saksi sejarah bagaimana glamor dan terhinanya wanita di sana.

Penulis: Putra Mahendra


Klik juga artikel  di bawah ini:




Baca Juga

Karena Air Mani Misteri Satu Abad Terpecahkan
Kamis, 11 September 2025 11:25 WIB
Pengemis Tanah Suci dan Orang Jawa
Sabtu, 06 September 2025 13:48 WIB
Mengapa Menikmati Fantasi "Seks Sedarah"?
Selasa, 02 September 2025 18:59 WIB
Agama Diperkirakan akan Mati
Minggu, 31 Agustus 2025 20:50 WIB