Promo

Mengapa Menikmati Fantasi "Seks Sedarah"?

Selasa, 02 September 2025 18:59 WIB | 1.388 kali
Mengapa Menikmati Fantasi "Seks Sedarah"?

Ilustrasi.


Grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ beberapa waktu lalu menjadi pembicaraan di media sosial. Pasalnya, grup tersebut berisi orang yang membicarakan fantasi seksual dengan anggota keluarga atau inses, bahkan menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan seksual.

marikitabaca - Fantasi seksual adalah normal. Namun saat muncul dorongan kuat mewujudkan fantasi yang menyimpang, segeralah cari pertolongan ke tenaga kesehatan mental profesional.

Media sosial menyatukan banyak orang dengan minat dan kesukaan sama, termasuk mereka yang memiliki fantasi seksual sedarah. Fantasi seksual apa pun sejatinya tak akan menjadi masalah selama hanya jadi khayalan dan tidak diwujudkan.

Namun, saat fantasi itu disertai dorongan kuat melakukannya dan sulit dikendalikan, segeralah mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional.

Dan sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ada orang tua kandung yang punya fantasi seks dengan anaknya? Apa pula yang terjadi hingga ada kakak dan adik kandung yang melakukan hubungan seks?

Psikiater atau Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Umum (RSU) Yasri, Jakarta dr Citra Fitria Agustina menyampaikan bahwa inses seperti yang terjadi dalam grup tersebut termasuk dalam kategori kelainan seksual.

Menurutnya, kondisi ini sangat berbahaya, terlebih karena anak-anak sangat rentan menjadi korban.

“Korbannya dominan kepada anak atau yang lebih lemah yang mudah dibohongi,” ujarnya.

Menurut dr Citra, kelainan seksual seperti ini bisa muncul akibat berbagai faktor, di antaranya adanya riwayat kekerasan dalam keluarga atau kurangnya kasih sayang selama masa kecil.

“Mungkin ada yang salah nih dari orang dewasanya, kok dia mau sama anaknya sendiri, adiknya sendiri, ponakannya sendiri. Si pelaku ini terbiasa melihat di dalam keluarga sebelumnya dan perilaku ini akan terus berulang jika tidak dihentikan,” katanya.

Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) itu menyayangkan minimnya pendidikan seksual pada warga Indonesia. Ia mengatakan bahwa ketidaktahuan inilah yang membuat orang mengira inses sebagai hal yang wajar, padahal pendidikan seksual bertujuan untuk melindungi organ reproduksi.

“Anak itu harus sering diajarin tentang edukasi seksual atau batasan mana yang boleh melihat kelamin itu hanya ibu dan bapaknya jika bapaknya tidak kelainan atau bapaknya baik-baik saja,” ucapnya.

“Anak perempuan itu sampai dua tahun boleh dibantu cebok sama bapaknya, tetapi kalau sudah melebihi dua tahun sudah sama ibunya saja, supaya kejadian itu tidak terjadi,” sambungnya.

dr Citra menyinggung kasus tragis yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 2024, di mana seorang bapak memperkosa anak kandungnya secara berulang hingga mengakibatkan kehamilan.

Kepolisian sendiri menetapkan enam tersangka kasus tindak pidana distribusi dokumen dan informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan, pornografi serta eksploitasi anak di grup Facebook 'Fantasi Sedarah' dan 'Suka Duka'.

Mereka diancam hukuman 15 tahun penjara. Enam tersangka, yang merupakan admin dan anggota grup tersebut, ditangkap oleh tim gabungan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung dan Bengkulu.

"Keenam tersangka diancam dengan hukuman pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp6 miliar rupiah," ujar Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Himawan Bayu Aji.

Himawan mengatakan saat ini penyidik juga telah mengidentifikasi beberapa korban, baik anak maupun perempuan dewasa, terkait aksi yang dilakukan para tersangka.

Sebelumnya, lembaga pemerhati anak mendesak kepolisian segera menangkap pelaku pembuat akun grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah'. Grup yang memiliki puluhan ribu anggota itu telah dihapus oleh META, termasuk 30 situs serupa lainnya.

Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPA), Kawiyan, menyebut konten-konten tersebut telah melakukan pelanggaran serius pada hak anak serta melanggar kesusilaan seperti yang termuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dengan menangkap pelakunya, polisi bersama Kementerian Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diharapkan bisa melacak "korban anak" untuk secepatnya dipisahkan dari orang tua yang merupakan pelaku.

Apa itu grup 'Fantasi Sedarah'?

Grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' ramai diperbincangkan warganet gara-gara memuat beragam unggahan pesan anggota grup yang mengarah pada ketertarikan seksual dengan anggota keluarga sendiri atau inses.

Unggahan yang disebut tidak pantas itu, juga mencantumkan foto korban yang beberapa di antaranya masih di bawah umur.

Setelah menjadi viral dan menuai kecaman publik, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta polisi bertindak.

Komdigi bersama META—perusahaan induk Facebook—telah memblokir 30 situs dengan konten serupa.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar, mengatakan pemblokiran tersebut sebagai upaya tegas negara dalam melindungi anak-anak dari konten digital yang merusak mental dan emosional.

Ia bilang tindakan pemutusan akses ini bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Beleid itu mengatur kewajiban setiap platform digital untuk melindungi anak dari paparan konten berbahaya serta menjamin hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat.

Meskipun telah memblokir puluhan situs, dia menegaskan pihaknya bakal terus memperkuat pengawasan terhadap aktivitas digital yang disebutnya menyimpang.

Dia juga meminta masyarakat untuk melapor jika menemukan konten sejenis.

Mengapa grup 'Fantasi Sedarah' bisa eksis?

Pengamat teknologi informasi (IT) dan keamanan siber, Alfons Tanujaya, menjelaskan masing-masing platform media sosial seperti X, TikTok, dan Facebook, punya kebijakan yang melarang adanya konten pornografi.

Facebook, misalnya, sebetulnya memiliki aturan yang lebih ketat dalam hal konten pornografi dibanding media sosial lainnya.

Bahkan konten audio yang mengandung aktivitas seksual juga dilarang.

"Kami membatasi tampilan ketelanjangan atau aktivitas seksual karena beberapa orang di komunitas kami mungkin sensitif terhadap jenis konten ini," tulis pernyataan di pusat transparansi META.

META melarang pengguna media sosial miliknya mengunggah konten telanjang yang menggambarkan secara jelas alat kelamin, anus, bokong, dan payudara.

Namun, mereka mengizinkan hal ini dalam konteks menggambarkan potret kelaparan, genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

META juga melarang konten aktivitas seksual, baik yang ditampilkan secara eksplisit seperti seks vagina, oral seks, anal seks, maupun yang tersirat. Platform ini juga melarang konten-konten perumpamaan yang menggambarkan berbagai macam jenis fetis.

Sama seperti media sosial lain, META mengizinkan menampilkan ketelanjangan dalam konteks medis, kesehatan, atau edukasi.

Masalahnya, menurut Alfons, penerapan kebijakan itu kadang tak cermat sehingga grup-grup seperti 'Fantasi Sedarah' dan bahkan judi online bertebaran di sana.

"Dan grup-grup begitu biasanya tertutup. Jadi orang enggak bisa mencari grup di Facebook tanpa persetujuan dari Facebook. Karena itu sistem bisnis mereka," ujar Alfons kepada BBC News Indonesia.

"Jadi memang si platform yang membatasi, beda dengan Google misalnya yang kalau kita mencari sesuatu, bisa langsung dapat."

Bahkan, menurut Alfons, meskipun sudah ketahuan bahwa grup tersebut melakukan pelanggaran, Facebook baru bisa bertindak ketika mendapat pengaduan.

"Bukan otomatis [ditutup]. Facebook itu pasif." kata Alfons, sumber daya di Komdigi terbatas untuk memelototi grup-grup yang ada di media sosial.

Hal lain, pemerintah juga disebut tidak bisa daya tawar yang kuat "menghukum" META karena dianggap membiarkan platformnya jadi sarang konten negatif seperti 'Fantasi Sedarah' dan sejenisnya.

Karenanya dia menilai salah satu jalan untuk mencegah menjamurnya muatan serupa di media sosial adalah penegakan hukum.
"Supaya ada efek jera. Jadi orang akan mikir-mikir lagi kalau mau berbuat hal yang sama," ujarnya.

"Jangan cuma diblokir terus selesai, karena kalau hanya menutup akun, akan gampang bikin lagi."

Perlindungan khusus terhadap anak, sebagaimana tercantum dalam Pasal 59A UU Perlindungan Anak, harus dilakukan melalui upaya:

• Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
• Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
• Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
• Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. Tanggung jawab memberikan perlindungan khusus ini ada pada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga negara lainnya.

Hal senada juga dikatakan Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA, Ciput Eka Purwianti.

"Kami harap dari kepolisian untuk menginformasikan kepada kami jika sudah ketemu identitas pelaku dan titik lokasinya. Concern kami tentunya pendampingan pada para istri dan anak-anaknya."

Apa itu inses?

Berdasarkan tulisan Gillian Harkins dari University of Washington dalam buku The International Encyclopedia of Human Sexuality tahun 2015, inses dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual, erotik, atau perkawinan yang terjadi antar anggota dalam satu kelompok kekerabatan (kinship group).

Menurut Harkins, inses adalah hubungan yang terjadi dalam struktur kekerabatan yang bisa dibentuk berdasarkan hubungan darah (consanguinity) maupun hubungan pernikahan (affinity), seperti antara ayah dan anak, kakak dan adik, atau antara paman dan keponakan.

Dalam kajian akademik, istilah "inses" juga dikaitkan dengan istilah "inses taboo" yang berarti larangan sosial dan psikologis terhadap hubungan semacam itu. Banyak agama melarang praktik inses karena dianggap bertentangan dengan moral dan hukum keagamaan.

Di sisi lain, negara-negara juga mengatur larangan inses berdasarkan perundang-undangan untuk melindungi stabilitas sosial, struktur keluarga, dan kesehatan publik.

Selain aspek sosial dan hukum, inses juga dianggap bermasalah secara biologis. Hubungan seksual dalam satu garis darah meningkatkan risiko pewarisan kelainan genetik, cacat bawaan, atau gangguan kesehatan pada keturunan.

Karena itu, larangan inses secara luas diyakini sebagai hasil dari kombinasi antara nilai moral, aturan budaya, dan ilmu medis.

Perspektif Antropologi

Dalam antropologi abad ke-19 dan ke-20, inses menjadi topik kajian penting. Charles Darwin (1871) menekankan dampak negatif dari perkawinan sedarah terhadap kualitas keturunan. Sementara itu, sosiolog Finlandia Edvard Westermarck (1891) memperkenalkan teori “imprinting,” yaitu penghindaran inses sebagai naluri biologis karena kebersamaan sejak kecil.

Di sisi lain, antropolog Claude Lévi-Strauss (1949) melihat tabu inses sebagai batas budaya dan alam, yang memunculkan sistem eksogami atau pernikahan di luar kelompok darah.

Dalam sudut pandang antropologi Amerika, David Schneider (1984) menekankan bahwa larangan inses lebih bersifat lokal dan spesifik pada struktur sosial tertentu, bukan aturan universal.

Perspektif Psikoanalisis

Psikoanalisis mengaitkan inses dengan ketidaksadaran dan trauma masa kecil. Sigmund Freud dan Josef Breuer (1895) melihat inses sebagai faktor penyebab gangguan psikologis.

Freud dalam teori “Oedipus Complex” menyatakan bahwa hasrat anak terhadap orang tua lawan jenis dibatasi oleh larangan simbolis yang dikenal sebagai “Law of the Father.” Jacques Lacan memperkuat gagasan ini dalam kerangka struktur bahasa dan identitas.

Namun, para kritikus seperti Jeffrey Masson dan Judith Butler mengkritik pandangan Freud karena terlalu menekankan pada heteroseksualitas dan generalisasi.

Gerakan feminis abad ke-20 menyatakan bahwa inses tidaklah jarang, terutama dalam rumah tangga patriarkal. Judith Butler dan Sandra Herman menyatakan bahwa inses seringkali merupakan bentuk eksploitasi seksual terhadap anak, bukan semata pelanggaran norma kekerabatan.

Feminisme memandang inses sebagai ekspresi kuasa dalam sistem sosial yang timpang.

Ruang lingkupnya ada tiga:
• parental incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dan anak, misalkan ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki;
• sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung, dan;
• family incest, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat, yang orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas anak dan masih mempunyai hubungan sedarah, baik garis keturunan lurus ke bawah, ke atas maupun ke samping, misal paman, bibi, kakek, nenek, keponakan, sepupu, saudara kakek-nenek.

Inses, menurut Komnas Perempuan, disebut pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena korban mengalami ketidakberdayaan lantaran harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan atau konflik sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama.

Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2022 menunjukkan dari 2.363 kasus kekerasan terhadap perempuan, inses menduduki posisi ketiga dengan 433 kasus atau setara 18% dari total kasus kekerasan seksual dalam ranah personal.

Laporan tersebut juga mengungkap pelaku kekerasan seksual termasuk inses yang paling banyak adalah figur ayah dan paman.

Apa bahaya hubungan inses?

Melansir cptsdfoundation.org, perbuatan inses memiliki dampak bahaya dalam banyak hal, termasuk secara genetik.

Bayi yang dikandung hasil inses berpotensi terjadi peningkatan risiko kelainan gen resesif.
Hal itu terjadi karena anak menerima satu salinan gen dari setiap orang tua.

Biasanya, gen untuk pembentukan sistem autoimun diwariskan dari masing-masing orang tua dengan materi genetik yang berbahaya digantikan oleh materi dominan.

Ketika individu tersebut hamil, mereka menurunkan variasi genetik dan gen resesif yang mereka miliki bergabung menjadi dominan pada anak. Hasilnya akan menyebabkan banyak jenis cacat bawaan.

Penyimpangan ini dinilai tidak etis dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Beberapa masalah kesehatan pada bayi yang lahir dari hubungan inses di antaranya:
• Memiliki gangguan perkembangan sehingga memiliki kemampuan intelektual yang rendah
• Mengalami fibrosis kistik yang menyebabkan lendir pada tubuh menjadi kental dan lengket sehingga bisa menyumbat saluran pernapasan serta sistem pencernaan
• Memiliki risiko kelahiran prematur dan memiliki bayi dengan berat badan rendah
• Memiliki risiko untuk melahirkan bayi dengan bibir sumbing sehingga akan mengalami kesulitan untuk berbicara dan makan
• Memiliki risiko penyakit jantung
• Memiliki risiko kematian neonatal atau kematian pada bayi yang baru lahir

Penulis: Putra Mahendra/berbagai sumber


Pilihan Redaksi




Baca Juga