Promo

Dugaan Kriminalisasi Dokter Ratna dan Isu "Damai" Rp 2,8 Miliar

Minggu, 17 Agustus 2025 17:09 WIB | 1.102 kali
Dugaan Kriminalisasi Dokter Ratna dan Isu "Damai" Rp 2,8 Miliar

Hangga Oktafandani, SH.


Ini bukan konspirasi pemakzulan, ini konspirasi kriminalisasi di pusaran penetapan tersangka dr. Ratna dalam kasus kematian pasien anak Aldo yang terjadi di salah satu rumah sakit di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

marikitabaca - Kami berbincang dengan Penasehat Hukum (PH) dr. Ratna, Hangga Oktafandani, SH yang menangani dugaan kasus kematian pasien anak, yang sampai hari ini masih menyimpan banyak misteri dari proses disangkakannya dr. Ratna.

Kami ingin meminta pandangan Hangga OF terhadap kasus tersebut, dan ada apa dan siapa di balik kasus ini. Berikut hasil wawancara kami bersama Hangga.

Bagaimana anda menanggapi kasus ini secara keseluruhan?

“Di mana-mana proses hukum anggota suatu organisasi profesi apa pun, dikedepankan lex spesialis (sebuah asas dalam hukum yang menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus, mengesampingkan peraturan yang lebih umum (lex generalis). Artinya, jika ada dua aturan hukum yang mengatur hal yang sama, namun salah satu aturan tersebut lebih spesifik, maka aturan yang lebih spesifik itulah yang akan diterapkan), sebelum dikenakan peraturan umum. Termasuk profesi dokter yang diperkuat MoU bersama lembaga penegak hukum,” bukanya.

Lalu bagaimana tanggapan tentang proses hukum yang dialami dr. Ratna?

“Sekilas, proses pidana dr. Ratna sesuai aturan hukum dengan adanya rekomendasi penyidikan dari Majelis Disiplin Profesi (MDP) Konsil Kesehatan Indonesia (KKI). Namun jika dikaji detail semua prosesnya serampangan dan melanggar hukum oleh para pejabat berwenang,” katanya.

Bagaimana?

“Proses rekomendasi MDP KKI ini sarat manipulasi untuk menjebak dr. Ratna keluarkan uang damai dari penetapan tersangka dan potensi penahanan di satu minggu ke depan,” lanjutnya.

Bisa diceritakan?

“Semua berawal dari ketidakpatuhan hukum penegak hukum dalam memproses perkara anggota profesi kedokteran, mestinya saat laporan diterima, maka di saat itu juga kepolisian wajib menyarankan kepada pelapor untuk mengajukan juga laporan ke MDP KKI, agar diperiksa dan diputus terlebih dahulu oleh organisasI profesi,” ulasnya.

Berarti ada dugaan proses ini tidak berjalan sesuai mekanisme?

“Dugaan begitu. Proses yang berjalan tidak sesuai mekanisme perundang-undangan. Polisi memproses laporan tanpa ada bukti pengaduan, pemeriksaan, dan putusan MDP KKI,” terangnya.

Lanjut Hangga, kelima dokter yang terlibat, diterbitkan surat panggilan, dan dijawab oleh pengacara para dokter agar penyidik mendapatkan rekomendasi MDP KKI jika ingin memproses kelima dokter sebagaimana ketentuan Pasal 308 UU Kesehatan.

“Adanya arahan penerapan Pasal 308 dan dilaksanakan sesuai arahan, ini yang disayangkan. Seharusnya sebelum Pasal 308 ada pendahuluan proses di Pasal 305 yaitu pengaduan, pemeriksaan, dan putusan MDP,” lanjutnya.

Lanjutnya lagi, rekomendasi sebagaimana Pasal 308 adalah proses akhir, bukan proses awal. Rekomendasi dapat keluar bila mekanisme Pasal 304 sudah dilalui.

“MDP KKI, Polda Babel, dan pengacara kelima dokter tidak berwenang memangkas mekanisme Undang-Undang dengan potong Pasal 305,” katanya.


Pilihan Redaksi


Siapa yang menjebak dan siapa yang terjebak?

“Ini siapa yang menjebak dan siapa yang terjebak membingungkan. Ya akibatnya proses hukum terkendala karena salah di awal,” sebut Hangga.

“Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU tentang Kesehatan, mudahnya dimaknai kelalaian menyebabkan kematian, kalau dari versi keluarga korban mengistilahkan pembunuhan,” lanjutnya.

Tapi narasinya adalah dugaan pembunuhan?

“Kalau benar narasi yang dimainkan keluarga korban dugaan pembunuhan oleh dr. Ratna, ini letak menariknya. Karena tidak mungkin tempat kejadian perkara (TKP) RSUD yang ramai hilir mudik manusia, dapat dilakukan pembunuhan oleh satu orang tanpa koordinasi dokter lainnya,” kata Hangga.

“Selain itu TKP RSUD belum di-policeline, CCTV belum disita, peralatan medis belum disita, dan pelaku utama tidak ketemu. Perlu disadari dr. Ratna konsultasi rawat bukan visit, maka dr. Ratna tidak pernah bertemu langsung dengan pasien, artinya, tidak mungkin membunuh pasien," tegas Hangga.

Berarti ada keanehan?

"Iya. Anehnya keluarga pasien tidak mengejar dokter lainnya yang jelas-jelas bertemu langsung dengan pasien, kenapa mengincar sasaran yang lemah, tulus, dan ikhlas?," ujarnya.

Sampai hari ini kata Hangga, belum ada putusan MDP KKI yang menyatakan kelima dokter dan dr. Ratna melanggar strandar profesi.

"Bahkan kalau kita baca di web resmi Konsil Kesehatan Indonesia belum ada penetapan menteri tentang standar profesi dokter anak, maka atas dasar apa rekomendasi MDP,  Menteri Kesehatan belum membuat aturan, dia malah ngatur sendiri. Ini MDP KKI melampaui wewenang dan berpotensi untuk kami ajukan pemidanaan," ungkapnya.

Ini ada dugaan kriminalisasi?

"Kami mencurigai ini adalah kriminalisasi berjamaah demi pencairan uang, Siapa yang punya motif dan siapa yang dimanfaatkan untuk itu belum ketemu. Kami berharap bapak Kapolda Babel dapat membuka aib kasus ini ke publik bahwa MDP KKI telah menjebak banyak pihak. Dan melalui laporan resmi kami nantinya bapak Kapolda dapat berkenan memeriksa dr. Erfen Gustiawan Suwangto, SP. KKLP, Subsp. FOMC, SH, MH, Ph.D dari MDP KKI," tegas Hangga.

Apakah pihak dr. Ratna diultimatum secara hukum?

"Kami diultimatum satu minggu untuk menyelesaikan perdamaian, jika tidak, proses hukum dinaikkan. Ya waktunya tidak cukup untuk kami, sedangkan polisi dan jaksa saja menghabiskan waktu setengah tahun mengungkap kasus, dan tidak ketemu pelaku utama," ungkapnya lagi.

"Kami pikir dengan waktu yang sempit dan klien kami semakin terzolimi akan berisiko penahanan ke depannya, setelah sebelumnya ditetapkan tersangka tunggal, ya publik akan menilai kelayakan perkara ini satu minggu ke depan," katanya.

Apa upaya tim penasehat hukum?

"Dalam upaya pengungkapan kasus, kami berencana membantu Polda Babel dengan menyodorkan beberapa nama beserta bukti untuk dilaporkan sebagai yang dapat diduga otak di belakang kriminalisasi ini," tegas Hangga Oktafandani, SH.

Penulis: Putra Mahendra




Baca Juga