Promo

Ustad, kenapa Harus Kau Cabuli Santri?

Selasa, 27 Mei 2025 12:21 WIB | 1.245 kali
Ustad, kenapa Harus Kau Cabuli Santri?

Ilustrasi ustad cabul.


Belasan santri di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), diduga menjadi korban pencabulan.

 - Pelaku berinisial MG (40), yang merupakan pimpinan ponpes tempat korban menimba ilmu agama kemudian ditangkap polisi.

Menyadur dari detikSumbagsel, informasi yang dihimpun, Sabtu (24/5/2025), perilaku menyimpang atau bejat MG itu diduga terjadi sudah sejak 2-3 tahun terakhir. Aksinya terbongkar usai seorang korbannya buka mulut terhadap seorang pengurus ponpes lainnya.

Kala itu, korban bercerita mendapat perlakuan menyimpang dari MG dan sering dibangunnya saat malam hari. Kemudian diminta untuk menuruti permintaan terduga pelaku tersebut. Dari sinilah, kasusnya terbongkar dan kemudian dilaporkan ke Polsek Payung, Polres Bangka Selatan hingga MG ditangkap.

"(Kasusnya) terungkap karena adanya laporan dari pengasuh pesantren lainnya yang kemudian didalami oleh kepolisian," ujar Kapolres Bangka Selatan AKBP Agus Arif Wijayanto ketika dimintai keterangan detikSumbagsel.

Diketahui, proses penanganan terduga pelaku dipimpin Kapolsek Payung Iptu Marto Sudomo beserta anggotanya, pada Kamis (22/5) malam. MG diamankan tanpa perlawanan oleh petugas kepolisian setempat. Selain korban yang pertama kali lapor, polisi telah mengantongi 11 nama santri yang diduga mendapat perlakuan yang sama.

Lanjut Kapolres, pihaknya belum menyebutkan jumlah santri yang menjadi korban kelainan seksual MG. Agus menegaskan pelaku dan sejumlah korban masih menjalani pemeriksaan secara estafet untuk mengungkap motif tersebut.

Pengurus Ponpes di Babel Ditangkap karena Diduga Cabuli Santrinya

Untuk diketahui, Seorang pengurus pondok pesantren di Bangka Selatan (Basel), ditangkap polisi. Pria berinisial MG (40) itu ditangkap atas dugaan kasus pelecehan terhadap santrinya.

Informasi yang dihimpun detikSumbagsel, MG diamankan di pondok tempatnya mengajar oleh anggota Polsek Payung, Kamis (22/5) malam. Kabarnya, belasan santri diduga menjadi korban MG.

Dilihat dari foto yang diterima, MG ditangkap tanpa adanya perlawanan. Polisi membenarkan atas ditangkapnya MG dan kasusnya kini ditangani Unit PPA Satreskrim Polres Bangka Selatan.

"Betul telah terjadi dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh MG (40) selaku pengasuh salah satu pesantren terhadap santrinya," tegas Kapolres Bangka Selatan AKBP Agus Arif Wijayanto kepada detikSumbagsel, Jumat (23/5/2025).

Kata Agus, saat ini penyidik masih melakukan pemeriksaan terhadap para saksi-saksi di Mapolres. Terkait jumlah korban, Agus belum bisa memastikan.

"Untuk jumlah korban masih didalami, saat ini saksi-saksi masih dalam pemeriksaan. Sampai hari ini, dari hasil pemeriksaan ada beberapa korban," tegasnya kembali.

Ia menambahkan kasus ini terungkap setelah ada seorang pengurus pesantren lainnya ke Polsek Payung. Informasi tersebut diterima pelapor dari seorang santrinya atau korban.

"Terungkap karena adanya laporan dari pengasuh pesantren lainnya yang kemudian didalami oleh kepolisian," tambahnya.

Terpisah, Kapolsek Payung Iptu Marto Sudomo menjelaskan jika terlapor MG diamankan pada Kamis malam (22/5/2025). Usai ditangkap, MG langsung diserahkan ke Polres.

"Terlapor untuk selanjutnya dibawa ke Polres Bangka Selatan untuk pemeriksaan lebih lanjut," terang Kapolsek ketika dimintai keterangan.

Cabut Izin hingga Jamin Keberlanjutan Pendidikan Santri

Kasus tersebut mirip dengan tindak kekerasan seksual kembali terjadi di pesantren di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Wildan Mashuri diduga berbuat cabul terhadap lebih dari 15 santrinya dalam rentang beberapa tahun. 

"Kami mendukung penuh penegakan hukum yang dilakukan. Setiap tindak pidana, siapa pun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya, harus ditindak tegas,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur, saat itu.

"Oleh sebab itu, izin pesantren akan dicabut atas tindakan pencabulan yang dilakukan pimpinan Ponpes. Jelas ini tindakan pidana, perbuatan tidak terpuji, mencoreng marwah Ponpes secara keseluruhan, dan menyebabkan dampak luar biasa bagi korban," tandasnya.

Pendampingan terhadap para santri juga dilakukan, kata Waryono, untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikannya. Sebab, meski izin pesantrennya dicabut, hak pendidikan para santri harus dilindungi.

"Kami juga memberi perhatian pada kelanjutan pendidikan para santri. Mereka harus terus belajar. Kita berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan sejumlah pesantren lainnya," sebut Waryono.

Waryono menjelaskan, Kementerian Agama juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. 

Lembaga terkait itu misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian.

Menurutnya, proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan.

Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?

“Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, untuk itu kita libatkan Dinas Sosial,” jelasnya.

"Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga harus komprehensif,” tandasnya.

Ditambahkan Waryono, Kementerian Agama juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.

"Kami punya buku panduan pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” ucapnya.
Kemenag, kata Waryono, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.

“Artinya, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. (santri) Tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” jelas Waryono.

Penulis: Vega. A/detiksumbagsel/berbagai sumber


Klik juga artikel  di bawah ini:





Baca Juga